Buat Pasaman: Ruh dan Tubuh Puisi
Buat Pasaman: Ruh dan Tubuh Puisi
Ubai Dillah Al Anshori
Bukankah telah sampai ke tubuh Pasaman puisi-puisi yang menelisik keadaan, alam, kultur sosial dan kebudayaan. Walau pada akhirnya bisa saja “puisi” tersebut tidak menjadi apa-apa, tidak pula menjadi sesiapa di antara mereka. Kabar itu barangkali telah menjadi angin lalu dalam setiap kategorisasi, tidak dianggap menjadi barang paling laris. Apalah daya rebah telah sampai pada pangkal.
Namun, kejadian ini sepantasnya diapresiasi oleh masyarakat Pasaman dengan lapang dada dan hati yang dingin. Mengapa demikian, sebuah buku telah terampungkan dengan judul “Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah ke Pangkal” menghimpun 147 penyair dengan puisi yang beragam pula, entah cara pengucapan, gaya, pilihan narasi dan lainnya yang menyangkut kehidupan puisi. Munculnya buku puisi yang menghimpun Pasaman sepertinya dapat dijadikan warna serta rasa, sehingga dapat kita nikmati sebagai penikmat.
Buku tersebut dikuratori oleh Kurnia Hadinata dan Tarmizi Rumah Hitam, agaknya nama tersebut tidak asing lagi di dalam dunia kepenulisan Indonesia. Sebagai kurator tentunya tidak terlepas dari pengalaman empiris, ego dan karakter kepenulisan pribadinya, lalu memilih beberapa yang layak untuk masuk dalam antologi tersebut. Ketika berbicara puisi yang masuk ke dalam antologi tersebut “kemungkinan-kemungkinan” tidak semua bagus, tidak semua layak, tidak pula semuanya buruk, pastinya ada beberapa hal dan pertimbangan sehingga puisi-puisi itu masuk, misalnya puisi itu memang bagus dan dekat dengan tema, memiliki gagasan, mencari kebaruan, sehingga dapat dikategorikan layak.
Ada juga yang menuliskan dekat dengan tema, namun gagasan tidak ada yang baru, seolah-olah hanya menceritakan apa yang terjadi di Pasaman, dan akhirnya masuk dalam antologi hanya karena memenuhi kebutuhan (permintaan panitia). Sehingga ketika memasuki ruh, tubuh dan kata dalam bukunya kita tidak bisa pula membandingkan antara puisi satu dengan puisi berikutnya, ada yang duduk dengan dunia puisi telah lama, ada pula yang baru bertemu dengan puisi, ada pula masih berkenalan dengan puisi. Namun, semuanya telah bersatu dalam buku.
Kita coba untuk masuk dan melihat sejauh mana tarik-ulur narasi, sebagai sampel akan dicoba puisi Feni Efendi dengan judul “Gadis Gunung”. Menelisik dalam pada puisinya, seolah-olah Ia mempertanyakan seorang Gadis yang berada di gunung, bertanya pada musim, bertanya pada senja dan mimpi, tak pernah bertemu pada apapun. Sebanyak tiga kali pertanyaan “Bagaimana Kabarmu?” dilontarkan, apakah akan ada jawaban atau tidak, kembali pada diri dan narasi dalam puisi tersebut. Upaya menggiring ke dalam teks melalui pecahan-pecahan kata, seperti musim, senja, selendang, mata, cahaya. Beberapa kata tersebut menjadi kunci dalam puisinya. “Apakah akan ada kaitan dengan Pasaman?”.
Kemudian kita digiring dengan fenomena berbeda, yaitu puisi dari Muhammad De Putra dengan judul “Anak-Anak sungai”. Seakan-akan kita berada dalam jalur perairan, Ia lemparkan ke dalam tubuh puisi aliran sungai, Ia ibaratkan batu-batu, ikan, nelayan akan habis digerus besi kota. Narasi dalam puisinya memiliki jiwa pengharapan, keinginan mengakhiri kesakitan yang diberikan beberapa pihak ke dalam diri sungai. Bunyi larik tersebut dipertegas dengan /kami nelayan mencari makan pada sungai hitam hilang perawan/ anak-anak akan apa?/. larik tersebut memberikan pernyataan serta pertanyaan yang bisa menusuk dada dan pikiran pembaca, ketika, sungai harus kehilangan jati diri, kehilangan kegunaan, sungai telah menghitam dan akhirnya anak-anak tidak pula bermain dan menikmati hidup dari sungai. Namun, tidak hanya De Putra yang fokus menyentuh sungai, masih ada beberapa penyair yang juga menyentuh tubuh sungai dalam puisinya, misalnya pada judul “Batang Sumpu, Batang Sumpur-batu di dasar sungai, Sungai Rokan, Akulah Sungai Lolo, Pencari Ikan di Sungai Lolo, Lelaki Tunduk dan Batang Aia Tapuih, Riak-Riak Air Sungai Pasaman, Surat Buat Hilir”.
Sungai menjadi bagian penting dalam tubuh Pasaman, sehingga dalam mata, batin dan imajinasi penyair, sungai akan tetap disuarakan sampai kapanpun serta penting dalam kehidupan masyarakat Pasaman. Dengan kata lain, buku Pasaman memiliki sudut pandang yang berubah-ubah, memunculkan banyak aspek, sehingga menjadi penting untuk melihat atau dijadikan literatur terhadap Pasaman nantinya.
Hal lain yang juga tidak kalah mencolok dalam buku Pasaman ialah adanya aspek yang mencakup kebiasaaan, sejarah, adat, serta tokoh yang ada ke dalam bingkai puisi-puisi para penyair, menurut pandangan mereka mungkin keadaan ini tidak mungkin dilepaskan atas adanya Pasaman saat sekarang. Misalnya, Tuanku Rao, Tuanku Imam Bonjol, perang padri, perpisahan, makanan khas, lokasi peperangan dan lainnya, yang bisa dibaca dalam buku. Kemudian, aspek lainnya yaitu judul buku sebagai penjelasan penutup, buku yang memiliki judul “Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah ke Pangkal” diambil dari judul dua orang penyair (Salman Yoga dan Rizkia Hasmin), seakan-akan pengawinan antara judul puisi mereka cocok dalam kacamata penyelenggara, kurator dan beberapa aspek pendukung sehingga memilih judul tersebut. Sehingga pada akhirnya lahirlah seorang bayi kata, dari rahim 147 penyair yang bisa saja tidak mendaki langit Pasaman, tidak pula rebah di pangkuan lelaki. Tetapi, sejak saat itu kenangan telah dilambungkan, dan doa tetap dilangsungkan agar muncul buku-buku Pasaman yang terus lahir dari rahim penyair, penulis, cerpenis dan siapa saja yang menuliskan tentang tubuh Pasaman.
Tulisan pernah di muat di kipano.wordpress.com/2020/10/28/buat-pasaman-ruh-dan-tubuh-puisi-ubai-dillah-al-anshori/
Komentar
Posting Komentar