Kampus dan Sastra Menyatu dalam Belanga




Kampus dan Sastra Menyatu dalam Belanga

Oleh: Ubai Dillah Al Anshori  


"tapi, pulang sudah memanggil 

akupun berkemas di antara debar angin dan

menanggalkan beberapa sejarah

yang tak salah arah"

(dalam Buku Setungkul Benang, 2018 – Ubai Dillah Al Anshori)


Esai ini dibuka dengan puisi yang berupaya mengantarkan saya pada kepulangan, ingatan sepuluh tahun lalu, serta perjalanan kreatif yang rasanya tidak salah arah. Sejatinya, ini menjadi cara untuk memberikan pengantar, menyampaikan pembuka dengan cara santai dan tidak tergesa-gesa. Bukankah sesuatu yang tergesa dapat memberikan efek tidak baik pada akhirnya?

Kemana pulang akan kita sampaikan, ke kampus pula arah dituju. Setelah kita sampai pada tujuan, tentunya harus pula sampai pembahasan yang perlahan-lahan memberikan tarik-ulur pandangan. Sebagaimana kampus, seperti itu pula kata-kata hendaknya bekerja, atau bahkan sebaliknya. Mengapa kampus menjadi salah satu ruang yang “harus” mampu memunculkan para “pengrajin kata-kata”. Bisa seorang penyair, novelis, cerpenis, esais, dan lain sebagainya. Karena kampus selalu saja memproduksi para intelektual yang memiliki imajinasi, perasaan, nalar, dan logika. Sehingga, mereka-mereka (mahasiswa) dapat menghasilkan sebuah karya-karya yang akan bersinggungan dengan lingkungan, alam, ekonomi, budaya, bahkan politik.


Catatan Penulis-Penulis rentang 2013-2017

Perjalanan kreatif tidak pernah terlepas dari peranan kampus  yang memberikan efek agar tumbuh secara maksimal. Dalam kurun waktu 2013-2017 rasanya kampus UMSU memiliki upaya untuk berkontribusi lebih jauh ketimbang apa yang terpantau saat ini. Kiranya data ini salah ataupun benar “kita” dapat melakukan diskusi-diskusi lebih mendalam, rinci, dan itu paling dibutuhkan.

Mengapa hal ini harus dibahas dalam Kampus dan Sastra Menyatu dalam Belanga. Tentunya memiliki dasar pemikiran yang ingin diuraikan satu demi satu. Pertama, pada tahun 2013-2017 ada komunitas-komunitas dibidang menulis (sastra dan jurnalis), serta memiliki anggota/pekerja kreatif yang menghasilkan tulisan-tulisan. Beberapa nama-nama populer pada tahun 2013, yakni, Beni AF, Ayu Harahap. Cipristiati, Hesti Sartika, Riyan Pradesyah dan masih ada nama-nama lain yang tidak tercatatkan. Kemudian, pada tahun-tahun berikutnya semakin masif kemunculan penulis-penulis muda (pada era-nya) yang tidak terbendung. Tidak hanya penulis, bahkan pementasan teater, musikalisasi puisi, dan pertunjukan lainnya hidup di halaman-halaman kampus.

Hal itu membuktikan bahwa pada tahun-tahun tersebut, kampus memang telah dijadikan tempat mengekspresikan diri, bahkan sesekali akan ada ngamen sastra sebagai upaya mendekatkan sastra kepada khalayak, dan memberikan pemahaman bahwa sastra tidak begitu eksklusif. Menelisik lebih dalam kepada proses yang terjadi, kiranya hal itu sebagai rangsangan bagi penulis pada setiap eranya. Munculnya nama-nama lain seperti, Nurul Maulida Anwar, Ayu Fitri Yeni, Mentari Syahputri, Irma Susanti, Araska Sastranegara, Robby Saputra, Ummi Siahaan, Dedy Kurniawan, Rika Ramadani Koto, dan Fitri R Nasution. Penulis-penulis di atas memiliki latar belakang dan domisili berbeda, tentu menghasilkan karya-karya dengan warna, corak, dan diksi yang kerap memiliki karakter masing-masing. Sekalipun menjadi tema sentral adalah ibu, merantau, dan kehilangan. (baca kumpulan cerpen: Yang Menunggu di Depan Pintu). 

Kemudian, pada tahun 2016-2017 geliat sastra kampus semakin membara, banyaknya nama yang bermunculan dari berbagai kampus, hampir di setiap hari sabtu-minggu pada koran-koran: Analisa, Waspada, Medan Bisnis, Sumut Pos, Medan Pos, Mimbar Umum yang memiliki radar cetakan di Sumatera Utara, silih-berganti menempati rubrik sastra dan budaya. Karya-karya tersebut sebenarnya tidak hanya menghiasi lokal, namun sampai ke koran seperti:

Media Indonesia, Tempo, Jawa Pos, Suara NTB, Kompas, Republika, Riau Pos, dan Sindo. Koran seakan menjadi bahan uji coba bagi para penulis untuk membuktikan bahwa karyanya layak di mata redaktur. Koran sebagai upaya mengarsipkan karya-karya bagus (kita) yang telah diseleksi, bahkan koran menjadi bukti kelayakan seorang penulis telah tuntas dilaksanakan, Sekalipun pada prosesnya, media online juga terlibat pada karya-karya yang terbit di tahun-tahun tersebut. 

Kendati demikian, kita mencoba sekilas merujuk pada saat ini (2024) banyak koran cetak telah berhenti beroperasi, berganti dari cetak ke online, dan beberapa di antaranya menghilangkan rubrik sastra. Secara tidak langsung, hilangnya media (koran) cetak berdampak kepada penulis yang terbiasa mengirimkan karyanya ke ruang-ruang yang dapat diraba oleh tangan. Namun, bila dibandingkan dua masa itu 2017 dan 2024 tentu tidak dapat diiringi-sejalan, dipaksa untuk menyatu, dan sebenarnya seperti dua mata pisau (yang saling menyayat ingatan estetik masing-masing). Terlepas dari media cetak dan online, kiranya perjalanan kreatif penulis-penulis muda kampus berupaya memberikan warna-warna bagi sastra Indonesia yang tidak kalah menarik untuk dibahas sedemikian rupa, nama-nama seperti: Fachru Rozi, Makhmud Sembiring, Elsa Vilinsia Nasution, Fitria Panjang, Aiyuni Utami, Septian Hermawan, Sisi Rosida, Dina Mariana, Aisyah Haura Dika Alsa, Delfi Febby Sumantri, Widya Arfiyanti, dan Ita Purnama Sari.

Tahun-tahun yang panjang untuk dibincangkan, dibalik capaian tulisan media cetak dan online. Penulis-penulis yang namanya termaktub di atas juga mengikuti berbagai macam kegiatan sastra di luar kampus, bahkan mengikuti penerbitan buku antologi bersama yang ada di Indonesia maupun mancanegara. Tidak dapat dipungkiri bahwa saya juga terlibat dalam proses 2013-2017 yang begitu apik, menegangkan, dan terkadang penuh dengan penderitaan.


Dosen dan Komunitas: Upaya Menghidupkan Api-Api Kecil

Saya membuka tulisan pada paragraf kedua bahwa kampus dan kata-kata (sastra) tidak dapat dipisahkan, sebagai upaya yang saling mengikat satu sama lain. Mengapa harus kampus dan mengapa pula sastra? Peran kampus melahirkan intelektual, sedangkan peran sastra menjernihkan pikiran para intelektual. Sastra kerap mengajak kita untuk melihat penderitaan manusia, melihat alam sekitar, dan menafsir apa yang ada di balik sebuah kejadian. 

Sapardi Djoko Damono memberikan pandangan bahwa:

Baginya, sastra adalah hasil kristalisasi nilai-nilai yang disepakati dan terus-menerus dikembangkan dalam suatu masyarakat. Karena sastra adalah seni bahasa, dibandingkan dengan seni lain, di dalamnya terbayang dengan lebih tegas nilai-nilai yang mengatur kehidupan kita dan selalu kita tinjau kembali. (buku Sastra dan Pendidikan, 2021)

Selaras dengan apa yang diucapkan Sapardi, maka pertanyaan dan pernyataan perlu banyak disampaikan-direnungkan, dibahas-didiskusikan bagi setiap tenaga pendidik (dosen), mahasiswa, dan seluruh civitas kampus. Sejauh apa sastra ditempatkan di kampus saat ini? 

Peluang-peluang untuk terus memproduksi penulis tentu harus melibatkan kampus dan segala apa yang ada di dalamnya. Dari sana segalanya bertumpu. Secara singkat, bila saja  setiap mahasiswa diwajibkan menulis-menerbitkan karya (ilmiah dan non-ilmiah) yang tidak hanya berupa “skripsi” semata. Maka, tidak menutup kemungkinan gelombang penulis – penulis muda Sumut kembali marak dari kampus-kampus termasuk UMSU. Sejenak saya ingin membawa pulang ingatan pada beberapa tahun silam, ketika kampus menjadi wadah yang punya siasat untuk memberikan “honorium” bagi penulis yang karyanya terbit di media-media cetak dan online. 

Siasat (kebijakan) tersebut pada tahun itu menjadi upaya yang sangat mumpuni dan menarik untuk menciptakan iklim penulis. Karena “tidak satupun” kampus di Sumatera Utara berkenan memberikan kontribusi seperti itu kepada para mahasiswa yang menulis. Sekalipun “honorium” sebagai tambahan dari media yang menyediakan, namun hal ini juga memicu kelahiran dan memenuhi kebutuhan sesaat dari proses kreatif penciptaan karya-karya. Sependek pengetahuan saya, saat ini  “honorium” bagi para penulis sudah tidak diterapkan kembali. Hanya saja munculnya siasat-siasat lain untuk menghidupkan bara api yang kiranya semakin hari semakin meredup selalu saja diupayakan. 

Setelah membahas hal-hal yang terlepas, perlu kiranya kita jahit kembali kurun waktu 2013-2017 peran Dosen sebagai sentral untuk terpacunya para penulis-penulis, seperti Yulhasni, Winarti (Win RG), Edy Suprayetno, Mhd. Isman, Mutia Febriyanti, dan nama-nama lain. Beberapa nama di atas tidak berperan selayaknya dosen, namun lebih dari itu. Memberikan kerja kreatif di luar ruang kelas, serta kerap menciptakan iklim diskusi di forum-forum, kantin, dan membentuk komunitas menulis kampus. 

Sebagai contoh Forum Kampus (FOKUS) satu dari beberapa komunitas yang langsung dimentori oleh Yulhasni seorang dosen yang telah menerbitkan buku Bunga Layu di Bandar Baru (kumpulan cerpen), Senjakala Kritik Sastra (kumpulan esai), dan Menulis Sepak Bola (catatan-catatan lepas tentang sepak bola), dan masih banyak judul buku yang telah diterbitkan. Fokus adalah upayanya untuk berkontribusi melahirkan anak-anak ideologi (sastra) yang sampai hari ini masih menulis. Termasuk penulis yang  menuliskan esai panjang ini. Selain itu, diskusi yang dilakukan seminggu dua kali (hari tergantung pilihan mentor) mewajibkan setiap anggota menghasilkan karya setiap pertemuan.

Dari pertemuan-pertemuan tersebut, kerap kali akan memberikan stimulus baru dan terkadang melampaui diri komunitas tersebut, misalnya membuat Seminar Nasional, memberikan Workshop ke kampus-kampus lain, membuat perlombaan sastra. Melalui komunitas dalam kampus, kita diberikan pemicu untuk mampu menjangkau yang lebih jauh dan menghidupkan. Seperti halnya ketika saya membawa nama Sapardi sebagai kutipan bukan semata-mata karena ia penyair, namun ada ingatan yang harus dijemput terhadap beliau. Ketika Hujan Bulan April Seminar Nasional Sastra dengan Narasumber Sapardi Djoko Damono dan Damhuri Muhammad yang dalam catatan saya hal tersebut terjadi atas kerja keras dari Yulhasni hingga berulangkali Jakarta-Medan. Auditorium UMSU penuh dengan kata-kata dan kenangan dari ribuan pasang mata. Pemicu-pemicu yang membuat semakin hari-semakin muncul penulis di kampus dengan berbagai macam genre. 

Maraknya sastra cyber pada (2015) juga disikapi dengan Seminar Internasional Perkembangan Sastra Cyber Indonesia dan Malaysia dengan narasumber Irwan Abu Bakar (Presiden E-Sastera/Malaysia) dan Yulhasni (Dosen dan Kritikus Sastra/Indonesia) dimoderatori oleh Winarti Ransih (Dosen dan Penulis/Indonesia). Ingatan-ingatan ini terkadang luput bila tidak dicatatkan, dapat pula mengganggu kerja kreatif “kampus” yang seakan “mati suri”. Bukankah peran dosen begitu penting?


Perpustakaan: Ruang Meramu Kata-Kata

Bagi penulis, buku adalah teman yang saban kali harus dicicipi, sejauh apa ia mampu membawa pembaca untuk pergi. Sedekat apa ia memberikan ingatan, dan seperti apa untuk menyikapi bila ia tidak memberikan apa-apa. Bicara tentang buku, tentu pulangnya tetap pada ruang, pada perpustakaan yang menyimpan ratusan, bahkan ribuan buku. Mengapa dalam tulisan ini saya harus membahas tentang Perpustakaan?

Penting kiranya untuk mencatatkan sebuah proses, sebuah perjalanan yang tidak dapat kita putar kembali sedemikian rupa. 2013-2017 barangkali bukan waktu yang panjang, bukan pula sesingkat membalikkan telapak tangan. Saya mencoba memberikan asumsi-asumsi bahwa masa lalu-berbeda dengan masa kini.  Pada tahun 2018, buku puisi saya “Setungkul Benang” diluncurkan di ruang Perpustakaan UMSU. Sekiranya itu adalah kebahagiaan diiringi kebimbangan. Bahagia karena buku telah terbit, dan didiskusikan di kampus tempat saya dulunya menjalani perkuliahan. Kebimbangan muncul ketika itu adalah buku yang pertama didiskusikan setelah renovasi perpustakaan selesai. Itu sebabnya, muncul asumsi apakah ini menjadi pertama dan terakhir. Karena, pada masa-masa kuliah (saya) hal ini tidak terlaksana dengan seksama. 

Tapi ternyata, asumsi tersebut salah, hingga saat ini semakin banyak buku-buku diterbitkan oleh UMSU melalui UMSU Press dan dilakukan diskusi-diskusi rutin di ruang-ruang perpustakaan yang semakin megah. Begitupula, terbitan yang semakin kemari-semakin menarik untuk dibincangkan. Hanya saja, kemegahan dan fasilitas yang sudah canggih tersebut memunculkan pertanyaan yang kian asik untuk diselidiki. 

Seperti apa upaya yang dilakukan untuk menghidupkan iklim kepenulisan sastra di kampus?

Pertanyaan itu tentunya akan dijawab dengan sangat hati-hati. Tulisan ini bukan berupaya menjawab pertanyaan di atas, hanya saja ingin membawa ke ruang-ruang lain yang kiranya enak untuk di dialogkan. Ketika melihat katalog terbitan UMSU Press, rasanya saya benar-benar melihat sebuah kekakuan, buku-buku teori, pembelajaran, dan kurikulum. Selain itu, buku-buku tersebut ditulis oleh mayoritas Dosen-Dosen dari kampus. “Kita” mencoba bersepakat, mencoba meyakini bahwa dibalik buku-buku tersebut, ada buku-buku sastra yang dituliskan oleh mahasiswa. 

Ternyata benar (ada), namun tidak dapat membuat kita harus berpuas diri. Bila perpustakaan telah megah, penerbit kampus telah ada. Mengapa kita tidak berupaya memberikan jalan yang lapang kepada mahasiswa dan alumni sebagai mitra yang dapat menerbitkan secara khusus. Sebagaimana penerbit-penerbit besar lainnya di Indonesia, berkenan menerbitkan dengan royalti yang sesuai. Rasannya hal tersebut dapat dilakukan sebagai upaya merampungkan kelahiran-kelahiran penulis UMSU yang telah lama melanglang-buana. Bahkan, memicu ulang apa yang selama ini telah terpendam di kampus-kampus. 

Kiranya tulisan ini mampu memberikan ruang ingatan yang panjang tempat kita berbagi dalam kata-kata. Seperti itu pula Kampus dan Sastra Menyatu dalam Belanga. Apa yang telah tersaji akan menjadi santapan-santapan ringan, namun dapat didiskusikan di kemudian hari. Bila pula sajian belum sempat disatukan dalam belanga-belanga yang lain, maka biarkan kita saling meramu, dan menciptakan bumbu kata-kata yang saling bertemu.

      Padang Panjang, 2024



Ubai Dillah Al Anshori alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (FKIP UMSU) dan Pascasarjana Pengkajian Seni Teater (Institut Seni Indonesia Padang Panjang). Menulis puisi dan esai seni pertunjukan dan rupa di berbagai media lokal dan nasional. Sempat menjadi Dosen di Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sejak 2019-sekarang tercatat sebagai Redaktur Budaya dan Sastra di koran Harian Umum Rakyat Sumbar. Pernah diundang dalam berbagai macam kegiatan sastra di Indonesia, seperti: Payakumbuh Literary Festival (2018), Temu Penyair Kopi Dunia, Takengon, (2017), Payakumbuh Poetry Festival (2021, 2022, dan 2023), Hari Puisi Indonesia, Riau (2018 dan 2019), Temu Penyair Asia Tenggara I (2018), Mengenang Seabad Chairil Anwar, Taman Ismail Marzuki (2022), Balige Writers Festival (2023), Lake Toba Writers Festival (2024). 

Selain itu, pernah menjabat sebagai Direktur Temu Penyair Nusantara, Pematangsiantar (2018) dan Direktur Temu Penyair Asia Tenggara II, Padang Panjang (2022). Telah menerbitkan dua buku kumpulan puisi Setungkul Benang, 2018 dan Tangan-Tangan Kisah, 2022. Beberapa tahun terakhir terlibat sebagai Narasumber dan Kurator dalam acara sastra dan budaya di berbagai kota-kota di Indonesia. Menerima Piagam Penghargaan Penulis Terpilih Kota Padang Panjang, 2022. Pemenang I Baca Puisi Se-abad Chairil Anwar, Taman Ismail Marzuki (2022). Saat ini aktif di komunitas-komunitas seperti: Fokus UMSU, Medan, Komunitas Tanah Rawa, Komunitas Seni Intro, Penggagas Akar Kata, dan Pimpinan Ranah Kreatif. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat-surat Sungai

Sosiologi Poetika dalam Tubuh Rajah

Buat Pasaman: Ruh dan Tubuh Puisi